Sejarah dan Latar Belakang
Gerakan buruh di Indonesia muncul di sekitar pertengahan abad ke-19 ketika sifat merkantilis Belanda mulai berubah menjadi kapitalisme-perusahaan dan ketika peran langsung pemerintah di bidang ekonomi digantikan oleh kelas borjuasi swasta Belanda. Pada masa ini mulai tumbuh kelas buruh Indonesia. Kemunculan gerakan buruh juga didorong oleh pertumbuhan kaum terpelajar pribumi yang radikal. Lapisan yang terakhir ini muncul akibat perluasan pendidikan gaya barat yang merupakan dampak dari politik etis Belanda. Selama 1900-1920, misalnya, jumlah murid bumiputera yang bersekolah di sekolah dasar HIS meningkat dari 896 menjadi 38.024 orang, sementara yang melanjutkan ke sekolah menengah HBS dan MULO meningkat dari 13 menjadi 1168 orang. Adapun yang sampai ke pendidikan ketrampilan seperti STOVIA dan OSVIA meningkat dari 376 menjadi 3917 orang (Shiraishi 1997: 37-38).
Pada masa ini, gerakan buruh tumbuh dalam atmosfir perjuangan kebangsaan. Serikat buruh yang pertama kali lahir di Indonesia adalah Nederland Indische Onderweys Genootschap (NIOG) atau Serikat Pekerja Guru Hindia Belanda, yang dibentuk pada 1879. Kemudian, lahirlah bermacam-macam serikat buruh di Indonesia. Di antaranya adalah Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel in Nederlandsche-Indie (VSTP) yang berdiri pada 1908; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) yang dibentuk pada 1914, dan Personeel Fabrik Bond (PFB) yang lahir pada 1918 (Kertonegoro 1999: 9; Shiraishi 1997: 150). Berbagai macam serikat buruh ini tumbuh bersamaan dengan organisasi-organisasi perjuangan kebangsaan seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam (SI).
Meski perkembangan gerakan buruh pada masa ini tampak pesat, tapi gerakan buruh di masa ini sebenarnya tidak kuat. Pasalnya, struktur kapitalisme kolonial masih mendasarkan dirinya pada perdagangan dan produksi hasil bumi, sehingga jumlah buruh hanya sedikit dibandingkan keseluruhan penduduk Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada sensus 1930, yang menyatakan bahwa orang yang bekerja di perusahan-perusahaan manufaktur yang sudah termekanisasi hanya 300.000 orang (Hadiz 1997: 41-42). Begitu pula, jumlah buruh yang aktif dalam gerakan hanya sebagian kecil dari total jumlah buruh di Indonesia. Keanggotaan VSTP yang sebanyak 13.000 pada 1923, misalnya, hanya sekitar seperempat dari keseluruhan buruh kereta api dan trem di Pulau Jawa.
Lemahnya gerakan buruh ini bisa terlihat saat pemerintah kolonial mengakhiri politik etisnya. Beberapa serikat buruh besar yang mencoba melakukan pemogokan besar berhasil dilumpuhkan oleh pemerintah. Misalnya, pemogokan PPPB pada 1922, yang meluas dan mendapat dukungan dari organisasi-organisasi pembebasan nasional seperti Centraal Sarekat Islam (CSI), PKI, Budi Utomo, Muhammadiyah dan Revolutonaire Vakcentrale pimpinan Tan Malaka serta Bergsma, berakhir dengan pemecatan 1000 orang buruh. Abdul Muis dan Reksodiputro pun diciduk di Garut, sementara Tan Malaka dan Bergsma dibuang dari Hindia. Hak berkumpul di Yogyakarta dicabut pada 8 Februari 1922 (Shiraishi 1997: 320-323). Lumpuhnya serikat-serikat buruh besar ini dan terpukulnya PKI pada 1926 menenggelamkan gerakan buruh pada masa kolonial.
Setelah kemerdekaan, pada masa yang sering disebut dengan Orde Lama, serikat-serikat buruh bertumbuhan kembali. Sebagian dari mereka berafiliasi dengan partai-partai politik. Hasil pendataan tahun 1955 oleh Menteri Perburuhan menyebutkan, terdapat 1501 serikat buruh nasional, kewilayahan dan lokal, di mana 56% dari serikat nasionalnya tidak berafiliasi ke mana-mana. Adapun federasi serikat buruh terbesar pada saat itu adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang pimpinannya banyak merupakan anggota PKI. Dari 596.115 anggota serikat buruh yang bekerja di sektor manufaktur, sekitar 530.000 adalah anggota SOBSI. (Hadiz 1997: 49-51).
Pada masa ini, terjadi polarisasi ideologi di antara serikat buruh komunis dan non-komunis. Setelah nasionalisasi perusahaan asing yang dimulai tahun 1957, di mana berbagai perusahaan yang dinasionalisasi itu jatuh ke tangan militer, serikat-serikat buruh anti-komunis menemukan mitra kuatnya pada militer. Begitu pula, militer yang semakin terintegrasi dengan kapital, mulai berkontradiksi dengan serikat-serikat buruh radikal seperti SOBSI. Mereka mulai membuat berbagai macam alat pengendalian buruh, termasuk organisasi buruh tandingan seperti Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Kontradiksi ini pun pecah dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965, yang diikuti dengan pembantaian ratusan ribu atau jutaan orang.
Pukulan mematikan yang diterima oleh gerakan buruh ini sebenarnya juga merupakan tanda dari belum kuatnya gerakan buruh di Indonesia pada saat itu. Alasannya sama dengan pada masa kolonial, gerakan buruh pada masa Orde Lama masih beroperasi dalam situasi ekonomi yang belum terindustrialisasi dengan tingkat proletarisasi yang rendah. Dari 25.000 perusahaan yang terdaftar pada 1953, hanya 575 yang memiliki tenaga kerja lebih dari 500 orang. Sementara, yang memiliki tenaga kerja antara 100-500 orang hanya 1500 perusahaan. Itu berarti sisanya hanya memiliki tenaga kerja di bawah 100 orang. Diperkirakan bahwa buruh industri pada masa ini hanya berjumlah 500.000 orang (Hadiz 1997: 48).
Setelah menghancurkan PKI beserta organisasi-organisasi progresif lainnya, termasuk SOBSI, rezim Orde Baru lalu melakukan pembersihan terhadap kekuatan buruh yang masih tersisa. Caranya adalah dengan memfusikan berbagai organisasi buruh yang ada ke dalam satu organisasi korporatis yang ada di bawah kontrol negara. Oleh sebab itu, pada 1973, didirikanlah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai wadah untuk memfusikan berbagai organisasi buruh. Pada 1985, FBSI merubah dirinya menjadi unitaris dan bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Meski demikian, pada 1990, SPSI berubah lagi menjadi federasi dengan nama FSPSI (Kertonegoro 1999: 17-20). Sementara itu, untuk melemahkan para pegawai negeri, mereka dipisahkan dari buruh swasta dan difusikan ke dalam Korps Karyawan (Kokar) yang kemudian menjadi Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri). (Hadiz 1997: 69).
Pada tahun 1990-an, gerakan buruh di Indonesia pun mulai bangkit kembali. Ini terlihat dari jumlah pemogokan dan organisasi buruh alternatif yang mulai tumbuh. Pada tahun 1988, hanya terdapat 39 pemogokan, tapi pada 1994, jumlah ini sudah meningkat menjadi sekitar 367 pemogokan. Organisasi-organisasi buruh alternatif pun mulai lahir. Pada tahun 1990, didirikan Serikat Buruh Merdeka (SBM) Setiakawan oleh beberapa aktivis buruh dan NGO. Lalu, pada tahun 1992, berdiri pula Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Kemudian, terdapat pula serikat yang lebih radikal, seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI)
Kebangkitan gerakan buruh ini lalu direspons negara dengan represi. Gerakan buruh yang baru bangkit ini tampaknya memang belum cukup kuat untuk menantang negara. Pasalnya, tradisi keterorganisiran yang ada di buruh sempat putus akibat penghancuran gerakan rakyat tahun 1966. Saat krisis ekonomi menghantam Indonesia di tahun 1997, kepeloporan gerakan sosial pun diambil oleh satu sektor yang tradisi keterorganisirannya relatif tidak putus dan dekat dengan dunia gagasan yang bisa menumbuhkan sikap kritis, yaitu mahasiswa.
Pasca-jatuhnya Soeharto, dunia perburuhan mengalami berbagai perubahan. Di antaranya adalah adanya kebebasan berorganisasi bagi buruh. Kalau dulu begitu sulit untuk mendirikan serikat pekerja di luar FSPSI, karena berbagai macam aturan yang menghambat, maka sekarang ini, berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serikat buruh bisa dibentuk hanya dengan sekurang-kurangnya 10 orang saja. Bermunculanlah berbagai macam serikat buruh pada masa ini.
Namun demikian, perkembangan gerakan buruh di masa ini bukan tanpa hambatan yang serius. Neoliberalisme telah mencengkeram Indonesia dan praktek kerja kontrak serta outsourcing yang membuat hubungan kerja menjadi fleksibel, telah mempersulit pengorganisiran buruh. Mobilitas kapital yang meningkat dan finansialisasi yang mengakibatkan deindustrialisasi, juga telah mempersulit pengorganisiran buruh.
KEBUTUHAN AKAN ADANYA KONFEDERASI SERIKAT BURUH BARU
Buruh adalah satu-satunya kelas sosial yang bisa melumpuhkan kapital. Pasalnya, kapital bergantung pada penghisapan buruh untuk bisa terus hidup dan berakumulasi. Namun demikian, gerakan buruh tetap beroperasi dalam suatu kondisi struktural tertentu yang berisikan peluang dan/atau hambatan tertentu bagi dirinya. Dari paparan di atas, kita bisa lihat bahwa gerakan buruh di masa kolonial dan Orde Lama menghadapi hambatan struktural berupa situasi ekonomi yang belum terindustrialisasi dengan tingkat proletarisasi yang rendah. Pada masa sekarang ini, kaum buruh beroperasi dalam neoliberalisme, yang ditandai dengan fleksibilitas pasar tenaga kerja, tingkat mobilitas kapital yang tinggi dan finansialisasi yang berdampak pada deindustrialisasi.
Penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja memiliki dampak pada sulitnya pengorganisiran buruh, karena tingkat pergantian pekerjaan (turn over) yang semakin tinggi. Begitu pula, mobilitas kapital yang tinggi antar-lokasi geografis dan cabang industri yang berimplikasi pada tingginya perpindahan situs produksi dan PHK, juga akan memiliki dampak yang serupa. Sementara itu, finansialisasi atau perpindahan kapital dari produksi ke sektor keuangan, yang berdampak pada deindustrialisasi dan menurunnya tingkat proletarisasi, akan memberikan hambatan yang relatif sama dengan yang pernah dialami oleh gerakan buruh di masa kolonial dan Orde Lama. Untuk mengatasi berbagai hambatan di atas, gerakan buruh harus lebih terbuka pada persatuan. Mobilitas kapital antar-cabang industri, misalnya, hanya bisa diatasi dengan persatuan buruh antar-cabang industri.
Di belahan dunia lain, perlawanan terhadap neoliberalisme juga datang dari para pekerja di sektor publik. Pasalnya, neoliberalisme menerapkan kebijakan pengetatan anggaran dan privatisasi yang memukul para pekerja di sektor publik. Di Inggris, misalnya, sebagai respons terhadap kebijakan rasionalisasi dan penutupaainnya. Di negeri yang belum terindustrialisasi secara penuh dan bahkan mengalami deindustrialisasi, seperti Indonesia, situasi pasar tenaga kerja dan daya tawar buruh, sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor rakyat lainnya. Misalnya, pencabutan subsidi BBM dan banjir produk pertanian impor akan menurunkan nilai tukar petani, yang membuat petani berhenti menjadi petani dan bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan lain. Akibatnya, persediaan tenaga kerja meningkat, sementara dunia industri yang sedang mengalami deindustrialisasi tidak dapat menyerap tenaga kerja baru. Pasar tenaga kerja pun menjadi semakin timpang dan daya tawar kaum buruh terhadap kapital menurun.
Untuk bisa membangun dan memimpin blok persatuan multi-sektor yang anti-neoliberal itu, rakyat pekerja harus membangun organisasi politiknya sendiri. Dan untuk ini, diperlukan buruh-buruh yang sadar politik dan tidak resisten terhadap perjuangan politik. Kapital, walau bagaimanapun, akan selalu menggunakan kekuasaan politiknya melalui negara untuk memperlancar penghisapan kaum buruh, dan tanpa melakukan perjuangan politik, mustahil bagi kaum buruh untuk bisa menghentikan penindasan kapital. Di sini, peran organisasi-organisasi massa (ormas) buruh menjadi penting sebagai ”sekolah awal” bagi kaum buruh untuk menumbuhkan kesadaran politiknya.
SEJARAH KONFEDERASI SERIKAT NASIONAL (KSN)
Ide tentang perlunya blok persatuan multi-sektor telah muncul beberapa waktu sebelumnya. Beberapa Federasi yang waktu itu sepakat untuk mengadakan peleburan kemudian memutuskan untuk mengambil inisiatif memulai proses persatuan secara resmi. Selain keuntungan adanya komitmen terrtulis, kami juga bisa membuat sebuah struktur yang akan memungkinkan adanya kesatuan tindakan dan keserasian gerak dalam mewujudkan persatuan ini.
Oleh karena itulah kami kemudian mengadakan kongres pada tanggal 11-13 Nopember 2012 di Parung. Kongres ini diikuti dan di sahkan oleh 13 Federasi, yaitu Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Kerakyatan, Federasi Serikat Buruh Karya Utama, Federasi Serikat Pekerja Independen Jawa Tengah, Federasi Serikat Buruh Kerakyatan, Federasi Serikat Buruh Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Nusantara, Federasi Serikat Buruh Kebun Indonesia, Federasi Pergerakan Buruh Perkebunan Independen, Federasi Perhimpunan Buruh Perkebunan Independen, Federasi Serikat Buruh Madani, Federasi Serikat Buruh Merdeka